Sunday, April 21, 2024

MEMBELI KENANGAN

 Pernahkah kalian berpikir untuk "membeli" sebuah kenangan?

Mungkin frasanya sedikit aneh untuk didengar karena terkesan kurang familier, tapi sebenarnya kita sadari atau tidak, kita sudah melakukannya. Contoh: pergi ke suatu tempat (tentunya membutuhkan ongkos dll.) untuk sampai ke tempat tujuan. Saat tiba di sana, kita bisa menikmati hal-hal yang kita cari, termasuk pengalaman dan kenangan atau membuat kenangan.

Beberapa hari yang lalu, aku dan keluarga mendatangi tempat makan yang sudah menjadi langganan kami sejak sekitar tahun '89. Tempatnya sederhana, tapi memberikan kenangan manis bagi kami. Namanya Sate Ayam Pak Akim (kalau gak salah ya) karena biasa beli tanpa melihat papan namanya. Letaknya tidak jauh dari Polsek Kalideres, Jakarta Barat. Menu yang disajikan ada empat macam: sate ayam, sate kambing, sop ayam, dan sop kambing. Tempat ini merupakan tempat favorit Bapak. Dulu sering kali Bapak mengajak kami makan di sini atau membungkus sate dan sop untuk makan bersama di rumah saat gajian. Karena rumah kami saat itu tidak jauh dari sana, biasanya Bapak mengajak kami pergi bersama dengan berjalan kaki.


Ingat sekali dulu saat aku mulai merasa kelelahan (karena waktu itu masih kecil), Bapak menggendongku di pundaknya. Saat itu, aku merasa sebagai orang tertinggi di dunia. Sepanjang perjalanan, kami bercerita, bercanda, bahkan Bapak tidak segan untuk iseng agar aku bisa menggapai ranting daun di pohon yang tinggi.






Sudah lama sekali tidak berkunjung ke tempat makan ini. Dulu, masih ada beberapa mamang yang wajahnya begitu akrab dengan kami. Namun, saat beberapa minggu lalu kami berkunjung, hanya 1 mamang yang kami ingat wajahnya. Sisanya sudah berganti dengan anak-anak muda. Tempatnya pun tidak terlalu luas. Ada sekitar 8 kursi panjang berhadapan. Di meja sudah tertata sendok, garpu, tisu, acar, sambal, dan kecap. Bahkan sudah ada wadah stainless besar tempat untuk sambal mereka.



Malam itu, pengunjung bahkan banyak yang tidak kebagian tempat duduk dan harus menumpang duduk di kios samping yang sedang tutup. Beginilah suasananya. Untuk harga cukup terjangkau. Malam itu, kami memesan 20 tusuk sate dan 2 porsi sop ayam dengan jumlah harga 100 ribu. Harga yang cukup bersahabat bagi kami untuk "membeli" kenangan tentang Bapak dan mengingat kembali masa kecil. 


Monday, August 17, 2020

DJAMU




 Di sudut keramaian pasar, saya melihat sebuah gerobak yang dipenuhi berbagai tanaman herbal yang beberapa belum pernah saya lihat sebelumnya. Pada spanduk sederhana yang dipasang di atas gerobak berwarna kuning tertulis, "Tersedia beras kencur, kunyit asam, pegal linu, kolesterol, asam lambung tinggi, jeruk peras, dll". Pembelinya pun (saat itu) tidak banyak, hanya beberapa: orang yang dewasa muda dan paruh baya. 

Tergelitik melihat  herbal yang beraneka ragam, saya mendekati gerobak ini. Jujur saja karena terbiasa mengonsumsi jamu yang sudah siap konsumsi, saya penasaran bagaimana pembuatannya dan benar saja sang penjual sedang sibuk meracik jamu pesanan pembeli. Mulai dari memilah herbal yang dibutuhkan, memotongnya satu persatu, menggeprek, memerasnya,  menunggu air mendidih, mengaduk, hingga akhirnya menyajikannya. Proses pembuatan setiap jamu membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Karena saya memesan 3 jamu , jumlah waktu yang dibutuhkan adalah 3 x 15 menit. Lumayanlah ya. 


Satu hal yang menarik adalah tidak ada satu pun jamu kemasan yang ada di gerobak ini. Semuanya benar-benar diracik langsung. 


Untuk mengusir rasa jenuh pembeli, beliau tidak segan mengajak ngobrol sambil memberitahu khasiat setiap tanaman. 


Karena situasi dan kondisi yang masih seperti ini, akan lebih aman jika mengonsumsi jamu di rumah dan saya pun meminta beliau untuk membungkusnya. 


Beberapa jam  kemudian, baru sempat mengonsumsi. Ternyata beliau memasukkan herbal di dalamnya (kirain tanpa apapun karena sudah disaring sebelumnya). Sesuatu yang unik, dan ternyata mungkin karena ada tanaman ini rasa jamu tetap tidak berubah, tetap wangi, dan hangat. Harga Rp15. 000/porsi harga yang cukup terjangkau untuk khasiatnya dan rasa yang luar biasa. 



Wednesday, June 24, 2020

Dear, D.







Saatnya kembali bernostalgia. ..


Dear, diary... 
Biasanya itu kata-kata itu yang digunakan sebagai salam pembuka pada diary yang kita tulis, lengkap dengan tempat dan tanggal kita menulis cerita baru pada lembaran diary. 


Entry ini diilhami karena saya masih menyimpan 2 buku harian yang saya punya dan masih ada hingga saat ini. 

Apakah kalian ingat kapan pertama kali punya diary atau buku harian? 


Ini adalah  buku harian yang pertama kali saya miliki




Saya ingat menulisnya pertama kali saat SD dan sampai sekarang saya masih menyimpan buku harian yang pertama kali saya miliki ( gak usah ditanya tahun berapa. Pokoknya sudah puluhan tahun lalu haha). 
Ketika saya buka setiap lembarannya, barulah menyadari betapa peristiwa tidak penting pun ditulis di sana๐Ÿ™ˆ 

Beralih ke masa SMP, ketika saya kelas 3 SMP, guru bahasa Indonesia menugaskan setiap anak untuk memiliki dan menulis buku harian sebagai tugas akhir. 



Pada saat itu saya berpikir, 
"Ah, masa iya sih tugas akhir semudah ini? cuma nulis buku harian doang? "

Ternyata benar! 

Hampir setiap kalo beliau mengajar, beliau selalu mengingatkan untuk mengisi buku harian dengan peristiwa apapun yang mau kita tulis. 
Saat itu, tugas ini merupakan hal yang sulit bagi para siswa laki-laki, termasuk beberapa teman saya. Bagi mereka (pada saat itu), membeli dan menulis buku harian adalah suatu hal yang "bukan mereka banget".
Seolah, dulu menulis buku harian hanya untuk perempuan.

Bedanya mereka tidak peduli pada desain sampul, kemasan, dan tampilan halaman buku harian, sedangkan siswa perempuan, berusaha memiliki buku harian dengan tampilan terbaik: desain menarik, ada yang memilih buku harian yang dilengkapi gembok, lembar warna-warni hingga yang beraroma wangi. 

Kalau saya sih ada beberapa kriteria dalam memilih buku harian:
1. Desain sampul yang menarik
2. Halaman warna-warni
3. Harga sesuai. 
4. Tidak dilengkapi gembok. 
Dulu, teman saya pernah beli desain seperti ini. Eh, kuncinya hilang (padahal biasanya gembok dan kunci disatukan oleh tali warna-warni) dan ada juga yang kuncinya karatan. Jadi, buku harian gak bisa dibuka lagi. 
5. Yang paling penting: diizinkan untuk beli sama orang tua hahaha



Dalam beberapa bulan, kami diminta untuk menulis buku harian. Sebelumnya, beliau telah mengatakan kriteria agar bisa mendapatkan nilai terbaik: menulis hingga lembar terakhir tanpa membaca selembar pun apa yang ditulis. 

__
Akhirnya saat penilaian itu tiba:

Sebelumnya guru saya berkata, " Ibu panggil nama kalian satu per satu. Bawa buku harian kalian. Tenang, Ibu gak akan baca karena itu adalah rahasia kalian! "

Setiap siswa (khususnya laki-laki) merasa gugup karena mau tidak mau harus memperlihatkan buku harian yang mereka miliki dan guru saya benar-benar menepati kata-katanya: buku harian hanya dibuka secara cepat tanpa membaca. Beliau hanya ingin memastikan berapa banyak halaman yang kami tulis. 


Tanpa kami sadari, beliau mengajarkan kami untuk belajar berliterasi: membiasakan bernarasi dan menulis, mengajarkan bahwa privasi dan rahasia adalah mutlak dan harus dihargai, bahwa bercerita tidak mengenal gender (laki-laki tidak perlu malu untuk menuangkan perasaan dan narasinya pada sebuah media). 


Nah, ternyata menulis buku harian pun diyakini memiliki manfaat bagi kesehatan:
1. Meredakan stres

".... Menuangkan perasaan di dalam buku harian juga baik untuk memperbaiki kondisi mental bagi orang yang memiliki gangguan mental, seperti depresi, bipolar, gangguan kecemasan, gangguan makan, hingga skizofrenia."

2. Membuat tidur lebih nyenyak
3.Mengenal diri sendiri
4.Menyelesaikan masalah dengan baik


Selengkapnya, bisa dilihat pada artikel:







Friday, April 24, 2020

Sepenggal Kisah di Hari Buku Sedunia



Selamat hari buku sedunia!

Memperingati hari istimewa ini, entri ini akan saya awali dengan sebuah kutipan dari John Green. 


"Books are the ultimate Dumpees: put them down and they'll wait for you forever; pay attention to them and they always love you back. '
― John Green, An Abundance of Katherines

Pada hari ini, beberapa tahun yang lalu ada sebuah kejadian yang sampai sekarang masih teringat jelas. Kejadian ini tepat pada hari buku sedunia. 


Beberapa tahun yang  lalu (ya, betul saya ulangi beberapa kali sebagai penekanan) saya melamar sebagai penulis cerita fiksi pada sebuah penerbit. Ternyata mereka meminta saya untuk datang ke rumah pemilik penerbit untuk proses wawancara. Setelah bertanya banyak hal, akhirnya beliau bertanya tentang naskah-naskah yang penah saya tulis. Waktu itu saya membawa buku Taman Nokturnal karya saya. (Oh iya, alhamdulillah buku Taman Nokturnal sudah menjadi salah satu koleksi perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Jika kalian sedang berada di sana, silakan dibaca ya☺) 

Kembali ke cerita, beliau bertanya banyak hal termasuk tentang pemilihan judul dan isi buku. Saya menceritakan secara garis besar buku tersebut, terlihat jelas beliau tidak menyukainya. Saya ingat kata-kata beliau, "Ceritanya sudah ditebak. Judulnya tidak menceritakan isi cerita. "

Jujur, itu sesuai dengan keinginan saya.  Saya ingin memberikan sebuah judul yang membuat orang bertanya-tanya tentang cerita, ada unsur penasaran yang menjadi modal pembaca untuk membaca. Itu menurut saya ya. 
Kemudian beliau memberikan saya sebuah buku yang merupakan hasil terbitan mereka. Saya lupa judulnya, yang saya ingat, buku ini bergenre thriller. "Coba menurut kamu buku ini menceritakan apa? ".

Berbekal membaca judul (tanpa melihat sinopsis sampul buku), saya menceritakan diagnosis saya mengenai buku tersebut: awal, tengah hingga akhir cerita. " Nah, bagus! Judul buku itu harus seperti itu. Pembaca harus tau ceritanya seperti apa. "

Saya dalam hati, "ya kalau saya sudah bisa menebak jalan ceritanya, buat apa saya membeli dan membantu buku itu? "

Kemudian  beliau bertanya genre Taman Nokturnal dan mereka bilang bahwa sebenarnya mereka lebih banyak menerbitkan buku bergenre thriller, komedi, dan nonfiksi. Beliau bilang kalau genre fiksi, apalagi romantis, tidak menguntungkan dan hanya bisa bertahan sebentar di toko buku.

"Kamu gak punya naskah lain? "  katanya. Saya bercerita tentang naskah fiksi K-pop yang sedang saya kerjakan waktu itu. (Sebenarnya naskah ini sudah saya ikutsertakan untuk kompetisi menulis yang diselenggarakan salah satu penerbit besar, tapi tidak terpilih sebagai pemenang). 
"(Cerita) K-pop tuh gak laku dijual, gak menarik! "

Dalam hati, "Kalau gak menarik, gak mungkin dong Gramedia bikin kompetisi menulis! " 

(Dan memang terbukti kan gak lama setelah itu, fiksi populer K-pop booming banget! 

Kemudian, saya menceritakan tentang garis besar naskah K-pop yang saya tulis itu. Beliau memang banyak memberi masukan yang kemudian saya aplikasikan pada cerita. 

Setelah itu, beliau bilang, "Begini deh. Saya punya banyak banget judul buku. Saya bacain ya. Siapa tau kamu mau. "

Ini asli kesempatan yang sangat luar biasa, seperti sedang kepanasan dan ada yang menawarkan tempat berteduh. 

Beliau menawarkan saya beberapa judul buku nonfiksi yang didominasi genre bisnis, agama, dan tips. Kemampuan saya yang masih terbatas, mengharuskan saya untuk meriset setiap detail cerita fiksi, tidak terbayang riset yang harus saya lakukan untuk membuat nonfiksi. 
Beliau juga menawarkan beberapa judul thriller. Beliau membaca beberapa (kemungkinan) judul buku sambil berharap siapa tau saya mendapat inspirasi. 
Setelah mendengar beberapa judul, inspirasi langsung menuju cerita nonfiksi (dasar kemampuan masih terbatas ๐Ÿ˜…! Dan langsung merasa bodoh sekali). 
Beliau juga sempat menawarkan saya untuk menulis cerita klasik Rusia. 

Terakhir, beliau bilang, "Ya udah, sekarang kamu pikirkan baik-baik, kamu pulang, istirahat, setelah itu dalam waktu seminggu, kamu kirim 1 bab (pilihan)dari judul-judul buku tadi. 
Apakah saya mengirimkan bab buku yang diminta? 
Tidak. 
Karena belum mampu menulis genre yang diminta. 



Apakah cerita ini sudah selesai? 



B






E








L











U










M




Beberapa bulan setelah akhirnya saya merevisi naskah K-pop, ada sebuah kompetisi menulis. Durasi lomba sangat sempit waktunya karena memang ditujukan untuk naskah yang sudah siap. 


Kalau tidak salah,  dari semua naskah yang masuk, 13 akan dipilih menjadi kandidat dan hanya 3 naskah terbaik yang akan terpilih menjadi pemenang. 


Apa hadiahnya? 
3 naskah terbaik akan diterbitkan dan dibeli dengan sistem beli putus. Jadi, setelah diterbitkan, penulis tidak akan mendapat royalti penjualan buku. 



Tanpa pikir panjang, saya kirimkan naskah yang saya miliki. 


Setelah masuk 13 terbaik. 

Alhamdulillah terpilih menjadi salah satu dari 3 naskah yang diterbitkan Indomaret. 



Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang kalah dalam kompetisi penerbit besar. 

Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang menurut penetbit lain, tidak akan laku di pasar. 

Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang menurut penerbit lain, bertema tidak menarik. 

Naskah yang terpilih itu, adalah naskah yang beberapa waktu lalu dibeli Indomaret. 




Dari sini pula saya percaya bahwa setiap naskah memiliki jalan dan nasibnya sendiri. 

Ada yang harus menempuh perjalanan panjang : ditolak, dikritik, dilempar, dan sebagainya. 

Ada juga yang berhasil menuju tempat yang dia inginkan dengan mulus. 




Selamat hari buku sedunia. 









Sunday, October 27, 2019

An Old Man and the Book



Suatu hari yang cukup terik karena matahari yang sedang tersenyum saat itu, beberapa penumpang mulai gelisah dan bertanya-tanya kapan angkot ini akan berangkat?

Dengan cuaca seperti itu, sang sopir tidak mau kalah semangat dengan matahari. Dia terus berteriak memanggil calon penumpang dan berharap agar sewa (sebutan lain untuk penumpang) semakin banyak.
Para penumpang yang enggan memilih transportasi lain, terus bersabar dan berharap angkot segera berangkat.

Di saat seperti ini, ada banyak hal yang dapat mereka lakukan: tidur, berkipas-kipas, main gawai, mendengarkan musik, menelepon dan banyak hal lainnya.  Di antara penumpang tersebut ada satu penumpang yang usianya sudah tidak muda lagi, sedang asyik dengan dunianya sendiri. Saat itu beliau memakai kemeja lengan pendek berwarna abu-abu dan celana jins pendek. Dia memegang kantong plastik hitam ditangan kanannya.

Dia tidak melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan banyak orang seusianya, dengan fokus dia membaca sebuah buku yang dia pegang. Bukunya cukup tebal dan matanya masih awas karena beliau membaca tanpa menggunakan kacamata.

Rasa ingin tahu pun muncul, Buku apa yang beliau baca sehingga dia tenggelam di dalamnya?  Sebelumnya, tidak pernah rasa penasaran ini muncul saat melihat orang membaca, tapi kali ini berbeda.

Aku melihat dengan ekor mata, satu kata yang kuingat: HUKUM. Aku dapat melihat beberapa kalimat di sana, tapi aku tak dapat mengingatnya sekarang. Cukup lama beliau membaca dan menghentikan bacaan saat akan turun.

Tindakannya mungkin sederhana bagi beberapa orang, tapi berhasil mengusik pikiran saya.

Berapa banyak dari kita yang tidak memilih membaca saat sedang menunggu?

Berapa banyak dari kita yang malas dan enggan membawa buku fisik dengan alasan berat?

Berapa banyak dari kita yang malas membaca dengan alasan mengantuk?


Sunday, October 28, 2018

The Couple

I would not wish any companion but you

-Shakespeare-

Sebenarnya kisah ini sudah terdapat dalam draft sejak 28 Oktober 2018, tapi tidak ada salahnya untuk mengunggahnya saat ini. 

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang pria paruh baya (sebenarnya sudah beberapa kali bertemu dengan bapak ini karena kami tinggal di kompleks yang sama walaupun berbeda blok).

Kali ini saya bertemu dengannya di sebuah  angkutan umum. Dengan rambut yang sudah mulai rontok, bapak ini duduk di angkutan umum dengan tak dan nyaman: postur badannya memang tinggi besar. Jadi, tentu bukan hal mudah baginya untuk menekuk kakinya, dengan kaos putih berkerah, celana jins pendek, dan sandal hitam, dia duduk dengan sabar sambil menunggu sopir yang sedang menunggu 'sewa'. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penampilannya hari itu, kecuali.....
Pandangan para penumpang saat itu tertuju padanya.

Apa yang membedakannya?
Dia membawa sebuah tas anyaman plastik yang biasa dibawa ibu-ibu untuk meletakkan barang belanjaannya.

Saya pun bertanya dalam hati,mau ke mana Bapak ini dengan tas belanjaan seperti itu? 

Masa sih ke pasar? 


Ada beberapa pasar yang dilalui oleh rute angkutan umum ini. Baiklah, jika dia turun di salah satunya, berarti si Bapak beneran ke pasar nih! Pikirku.

Daaan ternyata benar!
Tidak lama dia turun di salah satu pasar dengan membawa tas anyaman plastik tersebut!

Di tahun 2018, ternyata memang ada ya pria yang tidak malu dan gengsi untuk menggantikan tugas istri untuk berbelanja, lengkap dengan tas anyaman pula.

Dan tidak hanya ini, beberapa waktu setelah itu, saya bertemu dengan keluarga si Bapak: istri dan anaknya (anaknya mungkin sekitar umur 19 tahun) dengan  postur tubuh yang tinggi seperti bapaknya, sedangkan ibunya, kebalikannya.

Saya melihat si Bapak membawakan tas istrinya (walaupun terlihat tidak berat), mereka berjalan bertiga sambil mengobrol.

Mungkin hal ini terkesan sederhana bagi beberapa orang, tapi tidak bagi saya.
Di saat usia si Bapak yang semakin senja, dia tetap berusaha melakukan yang terbaik bagi istri (dan keluarga). Betapa pembagian tugas dan pekerjaan rumah dapat mereka lakukan hingga sekian lama dengan baik tanpa mementingkan ego dan gengsi masing-masing. 


Sunday, October 2, 2016

Menunggu

Aku menunggu di sebuah halte transjakarta,setelah beberapa lama
*Dialog 1*
(Kumelihat seorang pria pergi menjauh)
:"Mas gak jadi naik TJ?"
:"Enggak,kelamaan sih,mbak.Saya mau pesan ojek daring aja"
*daring=dalam jaringan.Translasi dari bahasa Inggris: online)
-kesimpulan: Masih banyak pilihan menuju tempat yang diinginkan.

*dialog 2
Seorang perempuan yang kira-kira sebaya denganku mengenakan kemeja putih dan rok hitam sambil membawa tas tambahan berwarna biru berisi beberapa map cokelat pun pergi menjauh.
:"Loh,gak jadi naik TJ mbak?"
:"Kalau saya nunggu,bisa telat sampe kantor,mbak (melihat jam).Udah jam segini. Saya mau pesan taksi online aja.
-kesimpulan: Jika terlalu lama menunggu,orang akan memilih hal yang lebih pasti.

*dialog 3
Seorang pria paruh baya mengenakan kaos putih dan celana jins pergi menjauh
:"Bapak gak mau nunggu TJ?"
:"Kelamaan,neng.Saya mau naik angkot aja."
:"Naik angkot kan lama juga,Pak.Sopirnya kan biasanya ngetem.Kenapa gak naik kendaraan online?"
:"Nah,ini...kalau semua orang memikirkan hal yang sama seperti neng,gimana,nasib para sopir angkot?Gimana mereka bisa bayar setoran ke atasan mereka?Gimana nasib keluarganya yang bergantung padanya?"
:"Tapi,Pak para pengendara kendaraan online juga punya keluarga yang harus mereka hidupi."
:"Nah,mereka butuh orang-orang seperti neng dan para sopir angkot juga butuh orang-orang seperti saya."

-kesimpulan:
Siapapun kita,kita dibutuhkan orang lain

*Dialog 4
Kali ini saya pun menjauh dari halte TJ dan menuju halte bus.Di sana saya melihat seorang pria berumur sekitar 20 tahun duduk dengan tatapan kosong. Aku mengurungkan niat untuk mengajaknya berbincang dan memutuskan untuk memperhatikan.
Satu jam telah berlalu.
Dua jam.
Tiga jam.
Empat jam.
Semua bus dan angkot yang melewati jalur ini tidak diacuhkan.
Apa yang dia tunggu?
Atau siapa yang dia tunggu hingga dia bertahan selama ini?
Kuputuskan untuk menunggu sejam lagi.
Lima jam sudah kududuk bersamanya dan dia tetap menunggu.
:"Permisi,mas.Sudah lima jam saya di sini merhatiin mas,tapi mas hanya diam.Saya penasaran,apa yang mas tunggu?siapa yang mas tunggu?"
:"Saya gak tau apa yang saya tunggu." (Tanpa melihatku)
:"Kalau gak tau apa/siapa yang ditunggu,kenapa mas mau menunggu?" *bukankah ini tidak masuk akal.
:"saya melakukannya karena saya mau."
:*dia benar. Itu jawaban mutlak* "Mas tau sampai kapan mas akan menunggu?" (Akhirnya dia melihatku)
:"Apakah ada batas waktu untuk menunggu?"
:"Hmm..bukankah biasanya begitu?"
:"Berarti mereka tidak menunggu dengan ikhlas.They don't know the art of waiting."
:*the art of waiting kata itu terekam di pikiranku* Saya salut.Kesabaran mas sungguh luar biasa."
:"Bukankah Tuhan bekerja dengan cara yang misterius?
:"Tentu"
:"Itu yang selalu saya percaya: Terkadang Dia langsung menunjukkan jalan yang terbaik, terkadang kita harus berjalan sendiri terlebih dulu untuk beberapa saat dan Dia akan menunjukkannya."
:"Jadi, mas benar-benar masih ingin menunggu?"
:"Ya, saya akan menunggu sampai saya tau siapa/apa yang saya tunggu. Pada saat itu terjadi, hati saya yang akan berbicara."
:"Semoga mas segera menemukan jawabannya. Mas tau mungkin saat mas menunggu di sini, ada banyak hal luar biasa menanti mas di suatu tempat." (Aku beranjak dari tempat duduk dan tersenyum.)
:*Dia membelalakan matanya*
:"The art of waiting"