Monday, August 17, 2020

DJAMU




 Di sudut keramaian pasar, saya melihat sebuah gerobak yang dipenuhi berbagai tanaman herbal yang beberapa belum pernah saya lihat sebelumnya. Pada spanduk sederhana yang dipasang di atas gerobak berwarna kuning tertulis, "Tersedia beras kencur, kunyit asam, pegal linu, kolesterol, asam lambung tinggi, jeruk peras, dll". Pembelinya pun (saat itu) tidak banyak, hanya beberapa: orang yang dewasa muda dan paruh baya. 

Tergelitik melihat  herbal yang beraneka ragam, saya mendekati gerobak ini. Jujur saja karena terbiasa mengonsumsi jamu yang sudah siap konsumsi, saya penasaran bagaimana pembuatannya dan benar saja sang penjual sedang sibuk meracik jamu pesanan pembeli. Mulai dari memilah herbal yang dibutuhkan, memotongnya satu persatu, menggeprek, memerasnya,  menunggu air mendidih, mengaduk, hingga akhirnya menyajikannya. Proses pembuatan setiap jamu membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Karena saya memesan 3 jamu , jumlah waktu yang dibutuhkan adalah 3 x 15 menit. Lumayanlah ya. 


Satu hal yang menarik adalah tidak ada satu pun jamu kemasan yang ada di gerobak ini. Semuanya benar-benar diracik langsung. 


Untuk mengusir rasa jenuh pembeli, beliau tidak segan mengajak ngobrol sambil memberitahu khasiat setiap tanaman. 


Karena situasi dan kondisi yang masih seperti ini, akan lebih aman jika mengonsumsi jamu di rumah dan saya pun meminta beliau untuk membungkusnya. 


Beberapa jam  kemudian, baru sempat mengonsumsi. Ternyata beliau memasukkan herbal di dalamnya (kirain tanpa apapun karena sudah disaring sebelumnya). Sesuatu yang unik, dan ternyata mungkin karena ada tanaman ini rasa jamu tetap tidak berubah, tetap wangi, dan hangat. Harga Rp15. 000/porsi harga yang cukup terjangkau untuk khasiatnya dan rasa yang luar biasa. 



Wednesday, June 24, 2020

Dear, D.







Saatnya kembali bernostalgia. ..


Dear, diary... 
Biasanya itu kata-kata itu yang digunakan sebagai salam pembuka pada diary yang kita tulis, lengkap dengan tempat dan tanggal kita menulis cerita baru pada lembaran diary. 


Entry ini diilhami karena saya masih menyimpan 2 buku harian yang saya punya dan masih ada hingga saat ini. 

Apakah kalian ingat kapan pertama kali punya diary atau buku harian? 


Ini adalah  buku harian yang pertama kali saya miliki




Saya ingat menulisnya pertama kali saat SD dan sampai sekarang saya masih menyimpan buku harian yang pertama kali saya miliki ( gak usah ditanya tahun berapa. Pokoknya sudah puluhan tahun lalu haha). 
Ketika saya buka setiap lembarannya, barulah menyadari betapa peristiwa tidak penting pun ditulis di sana๐Ÿ™ˆ 

Beralih ke masa SMP, ketika saya kelas 3 SMP, guru bahasa Indonesia menugaskan setiap anak untuk memiliki dan menulis buku harian sebagai tugas akhir. 



Pada saat itu saya berpikir, 
"Ah, masa iya sih tugas akhir semudah ini? cuma nulis buku harian doang? "

Ternyata benar! 

Hampir setiap kalo beliau mengajar, beliau selalu mengingatkan untuk mengisi buku harian dengan peristiwa apapun yang mau kita tulis. 
Saat itu, tugas ini merupakan hal yang sulit bagi para siswa laki-laki, termasuk beberapa teman saya. Bagi mereka (pada saat itu), membeli dan menulis buku harian adalah suatu hal yang "bukan mereka banget".
Seolah, dulu menulis buku harian hanya untuk perempuan.

Bedanya mereka tidak peduli pada desain sampul, kemasan, dan tampilan halaman buku harian, sedangkan siswa perempuan, berusaha memiliki buku harian dengan tampilan terbaik: desain menarik, ada yang memilih buku harian yang dilengkapi gembok, lembar warna-warni hingga yang beraroma wangi. 

Kalau saya sih ada beberapa kriteria dalam memilih buku harian:
1. Desain sampul yang menarik
2. Halaman warna-warni
3. Harga sesuai. 
4. Tidak dilengkapi gembok. 
Dulu, teman saya pernah beli desain seperti ini. Eh, kuncinya hilang (padahal biasanya gembok dan kunci disatukan oleh tali warna-warni) dan ada juga yang kuncinya karatan. Jadi, buku harian gak bisa dibuka lagi. 
5. Yang paling penting: diizinkan untuk beli sama orang tua hahaha



Dalam beberapa bulan, kami diminta untuk menulis buku harian. Sebelumnya, beliau telah mengatakan kriteria agar bisa mendapatkan nilai terbaik: menulis hingga lembar terakhir tanpa membaca selembar pun apa yang ditulis. 

__
Akhirnya saat penilaian itu tiba:

Sebelumnya guru saya berkata, " Ibu panggil nama kalian satu per satu. Bawa buku harian kalian. Tenang, Ibu gak akan baca karena itu adalah rahasia kalian! "

Setiap siswa (khususnya laki-laki) merasa gugup karena mau tidak mau harus memperlihatkan buku harian yang mereka miliki dan guru saya benar-benar menepati kata-katanya: buku harian hanya dibuka secara cepat tanpa membaca. Beliau hanya ingin memastikan berapa banyak halaman yang kami tulis. 


Tanpa kami sadari, beliau mengajarkan kami untuk belajar berliterasi: membiasakan bernarasi dan menulis, mengajarkan bahwa privasi dan rahasia adalah mutlak dan harus dihargai, bahwa bercerita tidak mengenal gender (laki-laki tidak perlu malu untuk menuangkan perasaan dan narasinya pada sebuah media). 


Nah, ternyata menulis buku harian pun diyakini memiliki manfaat bagi kesehatan:
1. Meredakan stres

".... Menuangkan perasaan di dalam buku harian juga baik untuk memperbaiki kondisi mental bagi orang yang memiliki gangguan mental, seperti depresi, bipolar, gangguan kecemasan, gangguan makan, hingga skizofrenia."

2. Membuat tidur lebih nyenyak
3.Mengenal diri sendiri
4.Menyelesaikan masalah dengan baik


Selengkapnya, bisa dilihat pada artikel:







Friday, April 24, 2020

Sepenggal Kisah di Hari Buku Sedunia



Selamat hari buku sedunia!

Memperingati hari istimewa ini, entri ini akan saya awali dengan sebuah kutipan dari John Green. 


"Books are the ultimate Dumpees: put them down and they'll wait for you forever; pay attention to them and they always love you back. '
― John Green, An Abundance of Katherines

Pada hari ini, beberapa tahun yang lalu ada sebuah kejadian yang sampai sekarang masih teringat jelas. Kejadian ini tepat pada hari buku sedunia. 


Beberapa tahun yang  lalu (ya, betul saya ulangi beberapa kali sebagai penekanan) saya melamar sebagai penulis cerita fiksi pada sebuah penerbit. Ternyata mereka meminta saya untuk datang ke rumah pemilik penerbit untuk proses wawancara. Setelah bertanya banyak hal, akhirnya beliau bertanya tentang naskah-naskah yang penah saya tulis. Waktu itu saya membawa buku Taman Nokturnal karya saya. (Oh iya, alhamdulillah buku Taman Nokturnal sudah menjadi salah satu koleksi perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Jika kalian sedang berada di sana, silakan dibaca ya☺) 

Kembali ke cerita, beliau bertanya banyak hal termasuk tentang pemilihan judul dan isi buku. Saya menceritakan secara garis besar buku tersebut, terlihat jelas beliau tidak menyukainya. Saya ingat kata-kata beliau, "Ceritanya sudah ditebak. Judulnya tidak menceritakan isi cerita. "

Jujur, itu sesuai dengan keinginan saya.  Saya ingin memberikan sebuah judul yang membuat orang bertanya-tanya tentang cerita, ada unsur penasaran yang menjadi modal pembaca untuk membaca. Itu menurut saya ya. 
Kemudian beliau memberikan saya sebuah buku yang merupakan hasil terbitan mereka. Saya lupa judulnya, yang saya ingat, buku ini bergenre thriller. "Coba menurut kamu buku ini menceritakan apa? ".

Berbekal membaca judul (tanpa melihat sinopsis sampul buku), saya menceritakan diagnosis saya mengenai buku tersebut: awal, tengah hingga akhir cerita. " Nah, bagus! Judul buku itu harus seperti itu. Pembaca harus tau ceritanya seperti apa. "

Saya dalam hati, "ya kalau saya sudah bisa menebak jalan ceritanya, buat apa saya membeli dan membantu buku itu? "

Kemudian  beliau bertanya genre Taman Nokturnal dan mereka bilang bahwa sebenarnya mereka lebih banyak menerbitkan buku bergenre thriller, komedi, dan nonfiksi. Beliau bilang kalau genre fiksi, apalagi romantis, tidak menguntungkan dan hanya bisa bertahan sebentar di toko buku.

"Kamu gak punya naskah lain? "  katanya. Saya bercerita tentang naskah fiksi K-pop yang sedang saya kerjakan waktu itu. (Sebenarnya naskah ini sudah saya ikutsertakan untuk kompetisi menulis yang diselenggarakan salah satu penerbit besar, tapi tidak terpilih sebagai pemenang). 
"(Cerita) K-pop tuh gak laku dijual, gak menarik! "

Dalam hati, "Kalau gak menarik, gak mungkin dong Gramedia bikin kompetisi menulis! " 

(Dan memang terbukti kan gak lama setelah itu, fiksi populer K-pop booming banget! 

Kemudian, saya menceritakan tentang garis besar naskah K-pop yang saya tulis itu. Beliau memang banyak memberi masukan yang kemudian saya aplikasikan pada cerita. 

Setelah itu, beliau bilang, "Begini deh. Saya punya banyak banget judul buku. Saya bacain ya. Siapa tau kamu mau. "

Ini asli kesempatan yang sangat luar biasa, seperti sedang kepanasan dan ada yang menawarkan tempat berteduh. 

Beliau menawarkan saya beberapa judul buku nonfiksi yang didominasi genre bisnis, agama, dan tips. Kemampuan saya yang masih terbatas, mengharuskan saya untuk meriset setiap detail cerita fiksi, tidak terbayang riset yang harus saya lakukan untuk membuat nonfiksi. 
Beliau juga menawarkan beberapa judul thriller. Beliau membaca beberapa (kemungkinan) judul buku sambil berharap siapa tau saya mendapat inspirasi. 
Setelah mendengar beberapa judul, inspirasi langsung menuju cerita nonfiksi (dasar kemampuan masih terbatas ๐Ÿ˜…! Dan langsung merasa bodoh sekali). 
Beliau juga sempat menawarkan saya untuk menulis cerita klasik Rusia. 

Terakhir, beliau bilang, "Ya udah, sekarang kamu pikirkan baik-baik, kamu pulang, istirahat, setelah itu dalam waktu seminggu, kamu kirim 1 bab (pilihan)dari judul-judul buku tadi. 
Apakah saya mengirimkan bab buku yang diminta? 
Tidak. 
Karena belum mampu menulis genre yang diminta. 



Apakah cerita ini sudah selesai? 



B






E








L











U










M




Beberapa bulan setelah akhirnya saya merevisi naskah K-pop, ada sebuah kompetisi menulis. Durasi lomba sangat sempit waktunya karena memang ditujukan untuk naskah yang sudah siap. 


Kalau tidak salah,  dari semua naskah yang masuk, 13 akan dipilih menjadi kandidat dan hanya 3 naskah terbaik yang akan terpilih menjadi pemenang. 


Apa hadiahnya? 
3 naskah terbaik akan diterbitkan dan dibeli dengan sistem beli putus. Jadi, setelah diterbitkan, penulis tidak akan mendapat royalti penjualan buku. 



Tanpa pikir panjang, saya kirimkan naskah yang saya miliki. 


Setelah masuk 13 terbaik. 

Alhamdulillah terpilih menjadi salah satu dari 3 naskah yang diterbitkan Indomaret. 



Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang kalah dalam kompetisi penerbit besar. 

Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang menurut penetbit lain, tidak akan laku di pasar. 

Naskah yang terpilih itu adalah naskah yang menurut penerbit lain, bertema tidak menarik. 

Naskah yang terpilih itu, adalah naskah yang beberapa waktu lalu dibeli Indomaret. 




Dari sini pula saya percaya bahwa setiap naskah memiliki jalan dan nasibnya sendiri. 

Ada yang harus menempuh perjalanan panjang : ditolak, dikritik, dilempar, dan sebagainya. 

Ada juga yang berhasil menuju tempat yang dia inginkan dengan mulus. 




Selamat hari buku sedunia.