Sunday, October 2, 2016

Menunggu

Aku menunggu di sebuah halte transjakarta,setelah beberapa lama
*Dialog 1*
(Kumelihat seorang pria pergi menjauh)
:"Mas gak jadi naik TJ?"
:"Enggak,kelamaan sih,mbak.Saya mau pesan ojek daring aja"
*daring=dalam jaringan.Translasi dari bahasa Inggris: online)
-kesimpulan: Masih banyak pilihan menuju tempat yang diinginkan.

*dialog 2
Seorang perempuan yang kira-kira sebaya denganku mengenakan kemeja putih dan rok hitam sambil membawa tas tambahan berwarna biru berisi beberapa map cokelat pun pergi menjauh.
:"Loh,gak jadi naik TJ mbak?"
:"Kalau saya nunggu,bisa telat sampe kantor,mbak (melihat jam).Udah jam segini. Saya mau pesan taksi online aja.
-kesimpulan: Jika terlalu lama menunggu,orang akan memilih hal yang lebih pasti.

*dialog 3
Seorang pria paruh baya mengenakan kaos putih dan celana jins pergi menjauh
:"Bapak gak mau nunggu TJ?"
:"Kelamaan,neng.Saya mau naik angkot aja."
:"Naik angkot kan lama juga,Pak.Sopirnya kan biasanya ngetem.Kenapa gak naik kendaraan online?"
:"Nah,ini...kalau semua orang memikirkan hal yang sama seperti neng,gimana,nasib para sopir angkot?Gimana mereka bisa bayar setoran ke atasan mereka?Gimana nasib keluarganya yang bergantung padanya?"
:"Tapi,Pak para pengendara kendaraan online juga punya keluarga yang harus mereka hidupi."
:"Nah,mereka butuh orang-orang seperti neng dan para sopir angkot juga butuh orang-orang seperti saya."

-kesimpulan:
Siapapun kita,kita dibutuhkan orang lain

*Dialog 4
Kali ini saya pun menjauh dari halte TJ dan menuju halte bus.Di sana saya melihat seorang pria berumur sekitar 20 tahun duduk dengan tatapan kosong. Aku mengurungkan niat untuk mengajaknya berbincang dan memutuskan untuk memperhatikan.
Satu jam telah berlalu.
Dua jam.
Tiga jam.
Empat jam.
Semua bus dan angkot yang melewati jalur ini tidak diacuhkan.
Apa yang dia tunggu?
Atau siapa yang dia tunggu hingga dia bertahan selama ini?
Kuputuskan untuk menunggu sejam lagi.
Lima jam sudah kududuk bersamanya dan dia tetap menunggu.
:"Permisi,mas.Sudah lima jam saya di sini merhatiin mas,tapi mas hanya diam.Saya penasaran,apa yang mas tunggu?siapa yang mas tunggu?"
:"Saya gak tau apa yang saya tunggu." (Tanpa melihatku)
:"Kalau gak tau apa/siapa yang ditunggu,kenapa mas mau menunggu?" *bukankah ini tidak masuk akal.
:"saya melakukannya karena saya mau."
:*dia benar. Itu jawaban mutlak* "Mas tau sampai kapan mas akan menunggu?" (Akhirnya dia melihatku)
:"Apakah ada batas waktu untuk menunggu?"
:"Hmm..bukankah biasanya begitu?"
:"Berarti mereka tidak menunggu dengan ikhlas.They don't know the art of waiting."
:*the art of waiting kata itu terekam di pikiranku* Saya salut.Kesabaran mas sungguh luar biasa."
:"Bukankah Tuhan bekerja dengan cara yang misterius?
:"Tentu"
:"Itu yang selalu saya percaya: Terkadang Dia langsung menunjukkan jalan yang terbaik, terkadang kita harus berjalan sendiri terlebih dulu untuk beberapa saat dan Dia akan menunjukkannya."
:"Jadi, mas benar-benar masih ingin menunggu?"
:"Ya, saya akan menunggu sampai saya tau siapa/apa yang saya tunggu. Pada saat itu terjadi, hati saya yang akan berbicara."
:"Semoga mas segera menemukan jawabannya. Mas tau mungkin saat mas menunggu di sini, ada banyak hal luar biasa menanti mas di suatu tempat." (Aku beranjak dari tempat duduk dan tersenyum.)
:*Dia membelalakan matanya*
:"The art of waiting"

Sunday, August 21, 2016

25

*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan nulisbuku.com






Tidak biasanya dia menelepon.
“Hey, baby dapatkah kita bertemu hari ini?”
"Kita kan selalu bertemu di hari Jumat.”
“Aku gak sabar. Laters baby.”
Aku tidak percaya papa yang kudengar, baby dia menyebutku seperti itu.

*          *          *

Jumat, 3 Juni 20..
Green tea late dengan ekstra krim?” Adrian, pria yang biasa membuat minuman kesukaanku ini tersenyum saat duduk di hadapanku.
“Kopi hitam tanpa diaduk.”
Dia menaikkan alis kirinya seolah tidak percaya.
Sambil menunggu, aku duduk di tempat kesukaanku di sudut café. Entah sudah berapa lama aku menjadi pelanggan tetap di ini, aku rasa saat “dia” pertama kali membawaku ke sini. Ya, ini adalah café favoritnya.
Aku datang lebih awal hari ini sehingga aku bisa menyiapkan materi kalimat aktif dan pasif yang kubuat dalam bentuk tabel dengan dua bahasa: Indonesia dan Inggris. 5 menit kemudian Adrian datang dengan membawa pesananku. Dia selalu memperlakukanku istimewa dengan mengantarkan pesanan ke tempat favoritku.
“Mbak, baik-baik aja? Gak biasanya mbak memesan kopi hitam tanpa diaduk. Ini kan minuman yang bisanya dipesan sama…”
Aku hanya tersenyum dan menyelesaikan tabel perbandingan kalimat sebelum siswaku datang.
“Ini gratis.” Adrian mengantarkan pesananku dengan senyum manisnya.
“Kenapa saya selalu mendapat minuman gratis?”
“Setiap hari, kami memberikan minuman gratis kepada pelanggan yang datang sesuai dengan nomor urut yang telah ditentukan. Nomornya selalu berganti dan kebetulan mbak cantik yang selalu beruntung.” Adrian yang selalu mengikat rapi rambut hitam panjangnya. Dia adalah pekerja paruh waktu di sini, profesi utamanya adalah sebagai model dan mahasiswa. Entah bagaimana cara dia membagi waktu, tapi dengan bibir merah, postur tubuh yang ideal, dan mata cokelat yang dimiliki, setiap pelanggan selalu mengidolakannya.
            Mbak Cantik dan baik hati se-Jakarta Barat dan sekitarnya J
Cangkir kopi aku berhiaskan tulisan indah khas Adrian. Tidak seperti pramusaji lainnya, dia menulis nama panggilanku dengan tulisan indahnya. Aku sering memberikan julukan “tulisan dewa” untuknya. Dia langsung bergegas ke meja kerjanya yang saat kulihat antreannya sudah semakin mengular.
Hari ini tanggal 25 September, hari ulang tahunmu.
Selamat ulang tahun. Semoga kamu selalu sehat.
Bagaimana harimu?
Aku masih membawa buku yang kamu tulis.
Dia selalu menemaniku
Tepat di jam seperti biasa JP, siswaku datang.
“Aku terlambat?”
“Tidak. Aku datang lebih awal.”
I thought I was late.” Katanya dengan aksen Prancis yang begitu kental. Untunglah dia masih bisa berbahasa Inggris dengan baik dan sekarang kosa kata bahasa Indonesia yang dikuasai semakin bertambah. “ini pesananmu?” Dia menunjuk kopi pesananku. “But you hate coffe.
Aku menganggukkan kepala. Hanya dalam waktu 2 bulan, dia sudah memahami diriku.
You want something that you hate? Are you okay?”
Aku hanya ingin memahami pikiran”nya”. Kopi lebih memahami”nya” daripada aku.
*          *          *
“Kamu udah sarapan?”
“Ini sarapanku.” Secangkir kopi hitam tanpa diaduk dan sebungkus rokok ada di atas meja dan dia mulai mengambil sebatang. Aku tahu aku benci perokok, tapi entah mengapa aku selalu tergila-gila saat melihatnya mengembuskan asap rokok yang keluar dari bibir tipisnya. Saat itu aku merasa iri dengan rokok itu. Dia beruntung karena bisa merasakan kelembutan bibir pria yang kucintai. Melihatnya sarapan adalah salah satu pemandangan kesukaanku.
Aku berusaha menahan napas saat asap itu menghampiriku. “Aku bisa matikan rokok ini kalau kamu keberatan.”
“Gak perlu.” Aku tahu aku tidak bisa melarangnya melakukan sesuatu yang dia sukai.
“Kamu suka kopi?”
“Aku gak bisa minum kopi. Dokter melarangku” Dia memainkan rokok dengan ibu jari dan telunjuknya yang panjang “apakah ini cukup? kamu yakin bisa bertahan sampai makan siang?”
Dia mengangguk dan menyesapkan kopi dan mengucapkan “ah” disetiap akhir sesapannya.
“Kamu belum pernah menjawab pertanyaanku, apakah aku penting untukmu?”
“Kalau kamu mau tahu jawabannya, kamu harus minum ini.” Dia menyodorkannya padaku.
“Tapi aku tidak bisa meminumnya.”
“Kalau tidak meminumnya, kamu tidak akan tahu bagaimana perasaanku untukmu.”
Aku takut jika perasaanmu tidak seperti yang kuharapkan. Aku takut jika ketakutanku menjadi kenyataan.

*          *          *
Baby? Apa yang kamu pikirkan?” JP menggenggam tanganku dan membuatku tersadar beberapa saat yang lalu, aku masih memikirkan “dia”. Kuperlihatkan ringkasan materi yang akan dipelajari hari ini. “Ajari aku puisi.”
Ah, ini dia kelemahanku! Aku tidak menguasai puisi kalau aku mengakuinya,apakah aku akan kehilangan pekerjaan ini? Semoga tidak! Aku butuh buang.
“Aku tahu beberapa puisi.” Setidaknya aku masih hapal puisi Aku karya Chairil Anwar sejak kelas 5 SD dan Sepasang Sepatu Tua karya Sapardi Djoko Damono, dua puisi yang tidak pernah bosan kubaca.
            “Ini buku barumu?” JP melirik pada buku yang ada di sampingku. “Pathethic Eden. Kenapa buku ini selalu kamu bawa?” Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk bercerita “apakah dia yang membuatmu seperti ini? Apakah dia yang membuatmu memesan kopi hitam tanpa pernah meminumnya?”
            “Hei, kenapa kamu tahu banyak hal tentangku?”
            “Kamu tidak menjawab pertanyaanku.”
            “Aku mau ke kamar mandi.”
            “Kamu baik-baik saja?” Tanyanya setelah aku duduk kembali di tempat favoritku.
            “Kita sudah selesai untuk les hari ini. Aku mau pulang.” Aku bersiap dan memasukkan Pathethic Eden ke dalam kain flannel yang kujahit sendiri.
            “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.  Aku tidak bisa membiarkanmu pulang setelah kata-kataku tadi.Please.”
            “Stop it! Stop with the I’m-begging-you-please-look.”
            “Apakah berhasil?”
            Aku langsung berdiri keluar Coffee Café dan melihat ke arahnya. Dari kejauhan dia mengacungkan kertas yang telah kutulis. Aku menggelengkan kepala dan dia meninggalkannya di atas meja.Dengan langkah kaki yang panjang, bukan hal yang sulit untuknya untuk mengejarku. “Kita mau ke mana?”
Dia tidak menjawab dan hanya berjalan di depanku.
Jika kamu tidak meminumnya, kamu tidak akan tahu bagaimana perasaanku untukmu.
Aku berada di dalam duniaku sendiri dan tidak menyadari tali sepatuku lepas dan aku jatuh tersandung. Telapak tangan kanan kugunakan untuk menahan beban agar aku bisa menghindari anak kecil yang ada di hadapanku. Aku melihat JP panik dan berlari menghampiriku. “Kamu gak apa-apa? Tanganmu berdarah. “ Dia memapahku dengan tangannya yang besar “kamu masih bisa jalan atau aku harus menggendongmu?”
“Tidak perlu, terima kasih.”
“Tapi kalau kamu terjatuh lagi, aku akan menggendongmu tanpa harus meminta izin.” Dia tersentum memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. Aku suka mata birunya saat mereka melihatku, aku selalu merasa cantik.
            Kami tiba di sebuah restoran mewah yang menghidangkan berbagai menu Prancis. Dua menit setelah kami duduk, pramusaji menyajikan sirloin steak yang dimasak medium, saus bérnaise, kentang goreng, sayuran hijau, dan Barossa Valley Shiraz.
            “I…ini seperti…”
            “Menu yang dipesan Christian Grey untuk Annastasia Steele dalam trilogi Fifty Shades of Grey kesukaanmu.” Aku tidak percaya pada apa yang kuliat, bagaimana dia bisa tahu begitu banyak tentangku.
            “Tetralogi. Kamu tahu kan kalau E. L. James sudah mengeluarkan Fifty Shades of Grey dalam sudut pandang Christian Grey?”
            “Dan masih ada dua buku lagi yang akan terbit kan.”
            Aku mengangguk. Senang sekali rasanya saat ada seseorang yang sangat mengerti dirimu, tahu apa yang kamu rasakan tanpa harus menceritakannya.
            “Aku cinta kamu. Izinkanlah aku untuk membuatmu bahagia.” Dia mengecup tanganku.
            “Tapi dengan satu syarat. Temani aku mempelajari kopi, temani aku berkeliling dunia untuk memahami kopi. Temani aku untuk memahaminya supaya aku bisa berdamai dengan masa laluku.”
            “Aku setuju. Kapan kita berangkat?”

*          *          *
“Adrian, apa yang kamu pegang?” Tanya sang manajer saat melihat Adrian memegang secarik kertas yang berisi tulisan tangan sesorang.
“Ini punya mbak cantik. Dia selalu meninggalkan catatan setiap kali datang.”
“Siapa mbak cantik?”
“Orang yang selalu datang ke sini, Pak. Selalu datang dengan memesan minuman yang sama, tapi setiap tanggal 25 dia selalu memesan kopi hitam tanpa diaduk.”
“Kenapa?” Sang manajer semakin penasaran.
“Dulu setiap tanggal 25 dan 25 September, dia selalu ke sini dengan pacarnya, tapi udah 2 tahun terakhir dia selalu datang sendiri dan saya selalu menemaninya ngobrol.”
“Dia sudah datang hari ini?”
“Itu, di meja nomor 25. Itu tempat kesukaannya, dia tidak pernah mau ada di meja lain.”
Sang manajer melihat ke arah meja nomor 25 dan tersenyum. Tatapan matanya begitu tajam dan tidak mau memalingkkannya ke arah lain.
“Mulai sekarang, berikan semua pesanan yang dia mau. Gratis. Pastikan dia meja 25 selalu kosong saat dia datang. Jangan biarkan dia datang ke kasir dan menunggu lama. Layani dia di mejanya dan antarkan pesanannya langsung.”
“Gratis? Bagaimana kalau dia curiga?”
“Kamu bisa bilang kita memberikan minuman gratis kepada pelanggan yang datang sesuai dengan nomor urut yang telah ditentukan. Nomornya selalu berganti dan kebetulan dia yang selalu beruntung. Serahkan semua catatan yang dia tulis untuk saya. Kamu mengerti Adrian?”
“Ya, Pak JP saya mengerti.”
           

 -TAMAT-